Wednesday, April 28, 2021

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.           Latar Belakang

 

Manajemen likuiditas merupakan bagian dari kerangka manajemen risiko industri keuangan yang lebih besar, yang berhubungan dengan seluruh lembaga keuangan baik konvensional maupun syariah. Kegagalan dalam manajemen risiko memiliki konsekuensi yang mengerikan, termasuk kolapsnya bank dan pada gilirannya menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan. Pada kenyataannya, sebagian besar kegagalan bank disebabkan kesulitan mengelola masalah-masalah likuiditasnya[1]. Ini juga yang menjadi alasan mengapa regulator sangat menaruh perhatian dengan posisi likuiditas suatu lembaga keuangan dan pemikiran regulator saat ini berpusat pada seputar penguatan kerangka kerja likuiditas.

Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola karena akan berdampak kepada profitabililitas serta keberlanjutan dan kelangsungan usaha suatu bank. Begitu pentingnya likuiditas ini, sehingga ditetapkan sebagai salah satu risiko yang harus dikelola dengan baik oleh bank.

 

B.            Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1.           Apa Definisi dan Konsep Manajemen Likuiditas?

2.           Bagaimana Manajemen Likuiditas di Bank Syariah?

3.           Bagaimana Instrumen Manajemen Likuiditas Bank Syariah?

 

C.           Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1.             Untuk mengetahui Definisi dan Konsep Manajemen Likuiditas.

2.             Untuk mengetahui Manajemen Likuiditas di Bank Syariah.

3.             Untuk mengetahui Instrumen Manajemen Likuiditas Bank Syariah.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.           Definisi dan Konsep Manajemen Likuiditas

Menurut teori intermediasi keuangan, dua alasan yang paling penting terhadap keberadaan lembaga keuangan, khususnya bank, adalah penyediaan likuiditas dan jasa keuangan. Mengenai penyediaan likuiditas, bank menerima dana dari deposan dan menyalurkannya ke sektor riil, dan pada saat yang sama menyediakan likuiditas untuk setiap penarikan dana simpanan. Namun peran bank dalam mentransformasikan simpanan jangka pendek menjadi pinjaman jangka panjang membuat mereka rentan secara inheren terhadap  risiko likuiditas (Bank For International Settlement (BIS), 2008 b:1).

Likuiditas adalah kemampuan menjual asset dalam waktu singkat dengan kerugian yang paling minimal. Asset-asset likuid adalah asset yang dipegang dalam bentuk tunai atau yang diinvestasikan dalam suatu instrumen yang dapat diubah menjadi bentuk tunai seperti simpanan berupa giro, deposito dan investasi pada sekuritas pemerintah yang likuid  berjangka pendek[2].

Pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi kas/tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana  melalui peningkatan portofolio liabilitas.

Risiko likuiditas muncul sebagai salah satu risiko yang paling penting dimana bank perlu menanganinya untuk menghindari kerugian jika tidak dikelola dengan dengan baik. Risiko likuiditas didefinisikan secara luas sebagai potensi kehilangan bagi bank yang muncul dari ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kewajiban atau untuk mendanai kenaikan asset saat jatuh tempo tanpa menimbulkan biaya atau kerugian yang tidak dapat diterima (Greuning and Bratanovic, 1999)[3].

Risiko ini terjadi ketika deposan secara kolektif memutuskan untuk menarik dana mereka dalam jumlah yang lebih besar daripada dana yang dimiliki bank (Hubbard, 2002:323), atau ketika peminjam gagal untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada bank. Dengan kata lain, risiko likuiditas terjadi dalam dua kasus. Pertama, muncul secara simetris kepada debitur dalam hubungannya dengan bank, misalnya ketika bank memutuskan untuk menghentikan kredit namun debitur tidak mampu membelinya. Kedua, muncul dalam konteks hubungan bank dengan deposan, misalnya ketika deposan memutuskan untuk menarik simpanan mereka tetapi pihak bank tidak mampu memenuhinya (Greenbaum dan Thakor, 1995:137).

Dalam prakteknya, bank menemui ketidakseimbangan (gap) antara sisi asset dan liabilitas yang perlu diseimbangkan karena secara nature bank menerima liabilitas dalam bentuk likuid tetapi menginvestasikannya dalam bentuk asset tidak likuid (Zhu, 2001). Jika bank gagal untuk menyeimbangkan gap tersebut terjadilah risiko likuiditas, yang diikuti dengan beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan seperti risiko kepailitan (insolvency) , risiko bail out pemerintah, dan risiko reputasi. Kegagalan manajemen likuiditas disebabkan oleh kuatnya tekanan likuiditas, penyiapan instrumen likuid bagi bank, kondisi bank pada saat tekanan likuiditas, dan ketidakmampuan bank untuk menemukan sumber likuid internal maupun eksternal.

Likuiditas dapat dibagi ke dalam dua jenis: likuiditas asset, yakni ketidakmampuan untuk menjual asset pada harga pasar saat itu, dan instabilitas likuiditas dari suatu liabilitas (LIL), yang mengacu kepada ketidakmampuan untuk menilai kecukupan dana untuk memenuhi kewajiban bayar secara tepat waktu (instabilitas simpanan dasar dalam periode yang lama).

Manajer bank harus berusaha untuk memaksimalkan return bank dari asset total yang diinvestasikan. Akan tetapi manajemen bank juga dihadapkan pada kebutuhan untuk memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi jika terjadi mismatch maturitas dari asset dan liabilitas. Risiko likuiditas bank syariah terutama sebagian besar berasal dari kekurangan karena pendanaan jangka panjang.

Bank dengan profil likuiditas yang kuat harus mampu bertahan. Sebagian besar dana lembaga keuangan islami berasal dari rekening investasi melalui kontrak profit loss sharing (PLS) tanpa kewajiban tetap yang melekat padanya. Sebaliknya masalah adalah kelebihan likuiditas. Bank syariah harus berhati-hati mengenai struktur maturitas asset mereka. Agar tetap solven, bank perlu untuk memelihara asset bersifat jangka pendek.

Sebagai lembaga keuangan, bank harus mengelola penawaran dan permintaan likuiditas dengan tepat agar dapat menjalankan usahanya secara aman, menjaga hubungan baik dengan pemangku kepentingan dan menghindari masalah risiko likuiditas. Risiko likuiditas biasanya terjadi karena kegagalan dalam pengelolaan dana atau kondisi ekonomi yang kurang kondusif yang menyebabkan likuiditas tak terduga karena penarikan dana oleh para nasabah. Manajemen likuiditas yang kuat (robust) merupakan tantangan tersendiri dan juga sulit dalam sistem ekonomi yang kompetitif dan terbuka dengan pengaruh eksternal yang kuat serta pelaku pasar yang sensitif (lihat Gambar 1). Pada dasarnya kegagalan bank dalam lingkungan keuangan global saat ini terjadi karena kurang memadainya sistem manajemen likuiditas dalam memecahkan  situasi yang merugikan (Goldman, 2007)[4].

 

 

 

B.            Manajemen Likuiditas di Bank Syariah

Dua penyebab utama risiko likuiditas adalah ketidakseimbangan asset dan liabilitas dan mismatch maturitas yang dapat terjadi karena dua kondisi (Helmen et.al, 1994:164-165): (a) aktiva lancar yang tersedia dalam porsi yang lebih besar daripada liabilitas volatile yang dikenal sebagai gap likuiditas, atau (b) jumlah dana perkiraan yang diperlukan pada sisi aktiva lebih tinggi dari jumlah dana perkiraan yang tersedia pada sisi liabilitas, yang dikenal sebagai kebutuhan likuiditas (lihat gambar 2)[5].

 

 

Pengelolaan risiko likuiditas merupakan salah satu tantangan paling penting bagi bank-bank islam karena dilarangnya instrumen-instrumen berbasis riba. Hanya sedikit instrumen refinancing  tanpa riba yang dapat digunakan, seperti pasar uang antar bank. Dalam kondisi ini bank-bank islam tidak memiliki kemungkinan yang komprehensif yang dapat dilakukan, khususnya dalam hal transformasi jangka waktu dan risiko sebagai dua fungsi utama dari lembaga intermediasi keuangan (lihat Bitz 2005, Oehler 2006)[6]. Fungsi-fungi intermediasi ini juga mengimplikasikan transformasi likuiditas. Langkah-langkah rintisan untuk mengatasi batasan pengelolaan likuiditas bank-bank islam  dengan memasukkan pasar modal dan pasar uang yang sesuai dengan ketentuan syariah telah dilakukan di Malaysia, Bahrain dan Arab Saudi. Akan tetapi, sektor keuangan islam perlu melanjutkan inovasinya pada tingkat portofolio produk, pada tingkat kelembagaan dan peraturan untuk memecahkan masalah keterbatasan dalam refinancing bank.

Meskipun profit dan loss sharing merupakan prinsip utama syariah, kontrak pendapatan tetap jangka pendek umumnya masih mendominasi portofolio produk bank-bank islam. Bagi hasilnya bisa melebihi 80% dari seluruh portofolio produk pada sisi asset, sehingga portofolio memperlihatkan diversifikasi dan struktur risiko yang rendah. Hal ini umumnya terjadi karena kebanyakan bank-bank islam memediasi di negara-negara dengan lingkungan hukum, kelembagaan dan keuangan yang rendah. Hal ini biasanya menyebabkan tingkat asimetri informasi yang tinggi dan perilaku oportunistik (moral hazard, hidden action) dari para pelaku pasar serta kendala likuiditas dan tingginya biaya modal bagi lembaga-lembaga perantara keuangan yang disebabkan oleh segmentasi pasar (lihat Aggarwal dan Yousef 2000, Chong dan Liu 2007, Akacem 2008, Visser 2009, Al-Hasan et al. 2010, Choudury dan Hoque 2006)[7]. Sebagai akibatnya, preferensi terhadap bank-bank islam bersifat rasional dan reaksi optimal, bahkan terhadap alternatif kontrak pembiayaan ekuitas dengan sistem keuangan ganda (dual system) dengan kemungkinan buruk pemilihan diantara keduanya. Tetapi dengan instrumen mark-up yang digunakan dalam prakteknya yang sering dikritisi oleh pakar syariah dan pakar ekonomi karena dianggap dekat dengan instrumen berbasis-bunga sehingga dianggap tidak berbeda dari perspektif fungsional (lihat khan dan Ahmed, 2001, El_Gamal, 2001,  Rosly 2005, Sundararajan 2007, Chapra, 2007, Cihak dan Hesse, 2008)[8]. Bank-bank islam biasanya memiliki rata-rata rasio ekuitas yang lebih tinggi. Jadi, rata-rata rasio ekuitas yang tinggi merupakan respon terhadap terbatasnya sumber pembiayaan yang kemudian membentuk cadangan modal tambahan sebagai antisipasi terhadap terjadinya default.

Penggunaan murabahah yang dijamin dengan komoditi dan pembiayaan dagang jangka pendek memungkinan bank-bank syariah untuk menginvestasikan surplus kas jangka pendek. Bank syariah harus mencoba untuk tidak tergantung kepada beberapa depositor besar, sebaliknya mereka harus mencoba untuk memobilisasi simpanan mereka dari depositor lainnya, melakuan diversifikasi sumber-sumber simpanan. Kelebihan likuiditas bank syariah tidak dapat dengan mudah ditransfer ke bank konvensional karena bank syariah tidak menerima konsep tentang riba; akan tetapi di sini ada suatu ruang untuk pertukaran surplus dana diantara bank syariah. Semakin besar jumlah bank syariah dan semakin lebar aktivitasnya, akan semakin besar pula lingkup kerjasama dalam bidang ini.

Maturitas investasi bank-bank harus dipelajari dengan baik melalui identifikasi kekurangan likuiditas di masa depan dengan menyusun ladder maturitas berdasarkan waktu yang tepat. Bank syariah mengklasifikasikan arus-arus kas termasuk di dalamnya metode perilaku, dan dapat  mempertimbangkan  dengan membedakan jenis arus kas sebagai arus kas yang telah diketahui maturitasnya dan jumlahnya telah diketahui sebelumnya. Kategori ini mencakup piutang dari murabahah, ijarah, piutang dan berkurangnya musyarakah.

Bank syariah harus membuat analisa arus kas secara periodik pada berbagai skenario dan kondisi pasar. Skenario dapat divariasi tergantung pada kondisi pasar lokal, dan dapat berdasar (a) lingkungan operasi normal, (b) skenario terburuk. Analisa harus memasukkan asumsi mengenai pembayaran kembali modal yang telah diinvestasikan kepada pemegang deposito PLS. Bank syariah harus menilai pengaruh tingkat ketergantungan mereka terhadap dana dari pemegang rekening.

 

C.           Instrumen Manajemen Likuiditas Bank Syariah

Salah satu pendekatan manajemen likuiditas yang paling penting adalah kemampuan bank untuk mendapatkan akses ke pasar sekunder seperti pasar modal dan pasar uang antar bank. Yang terakhir umumnya merujuk pada kegiatan peminjaman dan memberi pinjaman untuk periode satu tahun atau kurang. Pasar uang telah menjadi tempat bagi lembaga keuangan dan pemerintah untuk mengelola kebutuhan likuiditas jangka pendek mereka. Jadi bank biasanya berharap untuk memperoleh likuiditas dari kedua sisi neraca mereka dan mempertahankan keberadaan aktif di pasar uang antar-bank. Mereka melihat pasar ini sebagai sumber untuk akuisisi discretionary dana jangka pendek berdasarkan persaingan suku bunga, sebuah proses yang dapat membantu memenuhi kebutuhan likuiditas mereka (Greuning & Bratanovic, 1999)[9].

Terdapat berbagai instrumen likuiditas jangka pendek di pasar uang konvensional, yang menawarkan tingkat pengembalian yang berbeda-beda. Instrumen ini termasuk treasury bills, sertifikat deposito, repurchase agreements, banker's acceptance, surat berharga dan deposito uang antar-bank (Rosly, 2005). Semua instrumen memiliki karakteristik yang berbeda yang berkaitan dengan jangka waktu mulai dari overnight hingga satu tahun. Singkatnya, pasar uang antar-bank memungkinkan bank-bank yang surplus untuk menyalurkan dana kepada bank yang defisit menggunakan berbagai instrumen, dengan demikian mempertahankan dan mekanisme pendanaan likuiditas yang diperlukan untuk meningkatkan stabilitas sistem (Fabozzi dan Modigliani, 2003). Namun, sebagian besar instrumen yang digunakan dalam pasar uang antar-bank merupakan instrumen dasarnya berbasis bunga. Oleh karena itu, pembentukan pasar uang dengan instrumen sesuai syariah tidak hanya diperlukan untuk kelancaran pertumbuhan industri saat ini tetapi sudah menjadi keharusan.

Upaya awal untuk mengatasi masalah manajemen likuiditas telah berfokus pada penciptaan instrumen hutang jangka pendek dan jangka panjang yang sesuai dengan prinsip Syariah. Hal ini terbukti, di beberapa yurisdiksi, melalui penerbitan instrumen keuangan syariah yang beragam mulai dari kertas jangka pendek untuk obligasi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dan investasi lembaga perbankan Islam. Malaysia menjadi negara pelopor dalam inisiatif tersebut dengan pembentukan Islamic Inter-bank Money Market (IIMM).

Sebelum memanfaatkan instrumen keuangan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, bank harus menentukan jenis likuiditas yang dibutuhkan dan jenis instrumen yang harus dihentikan. Sebagai contoh kebutuhan likuiditas musiman cocok untuk instrumen keuangan yang sensitif terhadap waktu, kebutuhan likuiditas siklikal cocok untuk asset likuid yang telah diperkirakan dengan tepat, dan likuiditas jangka panjang cocok untuk kombinasi asset likuid jangka panjang dan menawarkan instrumen hutang jangka pendek kepada bank lain secara bilateral atau melalui pasar uang (Helmen et al., 1994:170).

Instrumen keuangan dapat diterapkan untuk memecahkan kebutuhan likuiditas yang dapat diprediksi dan tidak dapat diprediksi. Untuk mengatasi kebutuhan likuiditas yang tidak diprediksi bank melakukan beberapa pilihan, seperti: (i) menjual instrumen jangka pendek untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, (ii) menjual instrumen jangka panjang untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, dan (iii) meminjam dana jangka pendek. berkenaan dengan opsi pertama, ada beberapa alternatif seperti sertifikat deposito (NCD), pembelian kembali sertifikat deposito (CD), banks acceptance (BA), treasury bills (T-bills), sertifikat bank sentral, dan penempatan antar bank.

Untuk opsi kedua, ada obligasi bank sentral lokal dan luar negeri dan obligasi pemerintah local dan luar negeri. Akhirnya, pada opsi ketiga, ada penerbitan jangka pendek surat berharga ke pasar uang, pinjaman bilateral antara bank, dan meminjam dana dari bank sentral. Sementara itu, untuk memecahkan kebutuhan likuiditas yang dapat diprediksi, bank memiliki empat pilihan, yaitu pinjaman pemegang saham, injeksi likuiditas perusahaan induk, dana darurat bank sentral, dan bail out pemerintah.

BAB III

PENUTUP

 

 

Manajemen likuiditas di bank syariah merupakan bagian dari asset dan liability management yang secara umum bertujuan untuk menjaga likuiditas suatu Bank Syariah agar kegiatan operasional tetap berjalan dan kepercayaan masyarakat terjaga.

Pengelolaan likuiditas bertujuan untuk mengoptimalisasi penggunaan dana agar tidak terjadi idle fund yang besar dan tidak terjebak dalam kesulitan likuiditas. Untuk itu estimasi kebutuhan dana likuiditas yang diperoleh melalui proyeksi arus kas menjadi sangat penting.

Pengelolaan risiko likuiditas merupakan salah satu tantangan paling penting bagi bank-bank islam karena dilarangnya instrumen-instrumen berbasis riba. Di sisi lain, instrumen di Pasar Uang Antar Bank Syariah masih kurang. Malaysia menjadi negara pelopor dalam inisiatif penerbitan instrumen keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dan investasi lembaga perbankan Islam dengan pembentukan Islamic Inter-bank Money Market (IIMM).

Instrumen keuangan yang dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas seperti (i) menjual instrumen jangka pendek untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, (ii) menjual instrumen jangka panjang untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, dan (iii) meminjam dana jangka pendek. berkenaan dengan opsi pertama, ada beberapa alternatif seperti sertifikat deposito (NCD), pembelian kembali sertifikat deposito (CD), banks acceptance (BA), treasury bills (T-bills), sertifikat bank sentral, dan penempatan antar bank.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Abdul Rais Abdul Majid, 2003, DEVELOPMENT OF LIQUIDITY MANAGEMENT INSTRUMENTS: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES, International Conference on Islamic Banking: Risk Management, Regulation and Supervision

Dusuki, Asyraf Wajdi Dr., Commodity Murabahah Programme (CMP): An Innovative Approach to Liquidity Management, Paper Published in Journal of Islamic Banking, Volume 3, No. 1.

Fabozzi, F. J., & Modigliani, F. (2003). Capital Markets: Institutions and Instruments (Third ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Greenbaum, S.I, and Thakor, A.V. (2007). Contemporary Financial Intermediation. America: Elsevier Publication, 2nd Edition.

Helmen, G.; Simonson, D.; Coleman, A. (1994). Bank Management: Text and Cases. America: John Wiley & Sons, Inc, 4th Edition.

Hubbard, G.R. (2002), Money, The Financial System, and the Economy. New Jersey: The Addison Wesley Series in Economics, Person Education Inc.

Ismal,Rifki, 2010. Islamic Banking Characteristics, Economic Condition and Liquidity Risk Problem (Indonesia Case : 2001 – 2007), http://etheses.dur.ac.uk/550/1/FULL_IN_ONE_FILE.pdf, acces on  June 1st 2011.

Ismal, Rifki, Managing the Demand and Supply of Liquidity in Islamic Banking (case of Indonesia) access on June 1st 2011, http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads

Mahir Alman, Liquidity Transformation Factors of Islamic  anks: An Empirical Analysis, November 2010

Mark Largan, Banking Operation 2nd edition Chartered Institute of Bankers, United Kingdom, 2000 p.28.

Rosly, S. A. (2005). Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets: Islamic Economics, Banking and Finance, Investments, Takaful and Financial Planning. Kuala Lumpur: Dinamas Publishing.

Goldman Sach,. (2007). Liquidity Risk Management. Goldman sachs officialwebsite :http://www2.goldmansachs.com/our_firm/investor_

relations/creditor_relations/liquidity_risk_management/index.html.

Yahia Abdul-Rahman, ISLAMIC INSTRUMENTS FOR MANAGING LIQUIDITY, International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.1

Zhu, H. (2001). Bank runs, Welfare and Policy Implications. Bank For International Settlement Working Paper No. 107, Bassel.

 



[1] Mark Largan Banking Operation 2nd edition Chartered Institute of Bankers, United Kingdom, 2000 p.28.

[2] Yahia Abdul-Rahman, ISLAMIC INSTRUMENTS FOR MANAGING LIQUIDITY , International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.1

[3] Dusuki Dr. Asyraf Wajdi, Commodity Murabahah Programme (CMP): An Innovative Approach to Liquidity Management, Paper Published in Journal of Islamic Banking, Volume 3, No. 1.

 

[4] Rifki Ismal, Managing the Demand and Supply of Liquidity in Islamic Banking (case of Indonesia )access on June 1st 2011, http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2010/03/Managing-the-demand-and-supply-of-liquidity-in-islamic-banking-Case-of-Indonesia-Dr.-Rifki-Ismal.pdf

[5] ISMAL, RIFKI (2010) THE MANAGEMENT OF LIQUIDITY RISK IN ISLAMIC BANKS: THE CASE OF INDONESIA. Doctoral thesis, Durham University. Available at Durham E-Theses Online: http://etheses.dur.ac.uk/550/

[6] Mahir Alman, Liquidity Transformation Factors of Islamic  anks: An Empirical Analysis, November 2010

 

[7] Mahir Alman, Liquidity Transformation Factors of Islamic  anks: An Empirical Analysis, November 2010

[8] ibid

[9] Dusuki Dr. Asyraf Wajdi, Commodity Murabahah Programme (CMP): An Innovative Approach to Liquidity Management, Paper Published in Journal of Islamic Banking, Volume 3, No. 1.

CONTOH LAPORAN KUNJUNGAN UMKM

 

 

LAPORAN KUNJUNGAN UMKM

BAKSO DAN MIE AYAM BANG AMAD

Disusun guna memenuhi tugas Semester 5

Mata Kuliah Kewirausahaan

Dosen Pengampu: Muhamad Khoirul Fikri, M.E.I.

 



 

 

Disusun Oleh :

Nurul Istiqomah                               (2012114105)

Nur Asiyah Amini                           (2012116017)

Umul Umihariyasih                          (2012116029)

Ahmad Muzaki                                (2012116039)

Al Fiatur Rohmaniah                       (2012116040)

 

KELAS A

JURUSAN D3 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN

KOTA PEKALONGAN

2018

 

KATA PENGANTAR

 

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt, atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga Laporan Kunjungan UMKM Bakso dan Mie ayam Bang amad” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi dan junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya.

Penyusunan laporan kunjungan UMKM ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Kewirausahaan semester 5 yang diampu oleh Bapak Muhamad Khoirul Fikri, M.E.I. IAIN Pekalongan.

Penulis telah berupaya menyajikan laporan kunjungan UMKM ini dengan sebaik-baiknya. Di samping itu, apabila dalam laporan ini terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna penyempurnaan penulisan berikutnya. Akhirnya, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin ya robbal alamin.

 

 

 

 

Pekalongan, 10 Oktober 2018

 

 

Penulis

DAFTAR ISI

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAPORAN KUNJUNGAN UMKM

BAKSO DAN MIE AYAM BANG AMAD

 

A.  JENIS USAHA

1.    Gambaran umum usaha

Bakso adalah jenis bola daging yang lazim ditemukan pada masakan indonesia. Pada umumnya dibut dari campuran daging sapi giling dan tepung tapioka, akan tetapi ada juga bakso dari daging ayam, ikan atau udang. Dalam penyajiannya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mie, bihun, dan sayuran. Bakso sangat populer dan dapat ditemukan diseluruh indonesia, dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran besar.

Mie Ayam adalah makanan rakyat yang semakin banyak dijual di perkampungan. Walaupun demikian Mie Ayam adalah jajanan sehat serta bergizi. terkecuali enak, makanan ini mempunyai kandungan gizi yang terbilang komplit, dari mulai karbohidrat, protein, dan gizi yang didapat dari sayuran pelengkap mie ayam.

Mie Ayam merupakan masakan Indonesia yang terbuat dari mie kuning direbus mendidih kemudian ditaburi saus kecap khusus beserta daging ayam dan sayuran. Mie Ayam trkadang ditambahi dengan bakso. Mie Ayam berasal dari Tiongkok Selatan, meskipun mie bukan asli indonesia tapi nyatanya kini mie ayam seakan sudah menjadi makanan tradisional indonesia. Makanan ini sudah tersebar diseluruh indonesia, terutama di daerah Jawa makanan ini sangat mudah ditemukan.

Usaha yang  diteliti adalah jenis usaha kuliner, dimana yang dijadikan sebagai objek adalah bakso dan mie ayam bang amat. Jenis usaha ini termasuk usaha yang sudah sangat familiar dikalangan masyarakat. Bakso dan mie ayam merupakan makanan yang akrab untuk lidah orang indonesia walaupun mie dan bakso bukan makanan asli indonesia, tetapi masyarakat indonesia sangat menggemari bakso dan mie ayam. Konsumen untuk bakso dan mie ayam sangat banyak dan luas sebab bakso dan mie ayam banyak disajikan atau ditawarkan digerobak kaki lima bahkan sampai pada restaurant besar. Penikmat dari bakso dan mie ayam ini tidak membeda-bedakan kelas masyarakat serta usia sebab bakso dan mie ayam memang disukai banyak golongan masyarakat dari anak-anak sampai orang tua. Semua menyukainya karena rasa bakso dan mie yang begitu  nikmat.

2.   Alat dan bahan produksi

 

B.     DESKRIPSI PENGUSAHA

Bakso dan Mie ayam ini didirikan oleh Bapak Ahmad Sholihin, ahir di Pekalongan, 9 oktober 1990, pendidikan akhir beliau adalah SMA   terletak Jalan Kusuma Bangsa, Kelurahan Panjang Kota Pekalongan tepatnya di depan Kampus I IAIN Pekalongan. Profil pengusaha

Nama : ahmad sholihin

TTL : Pekalongan. 9 oktober 1990

Alamat : panjang wetan pekalongan

Pendidikan terakhir : SLTA

Status : lajang

Yang melatarbelakangi bang amad membuka usaha ini adalah bosan jadi pegawai. Karena menurutnya merupakan kebanggaan tersendiri meskipun hasilnya masih kecil tentu akan merasa bangga karena bekerja tanpa menjadi bawahan orang lain. Selain itu jika bekerja pada usaha sendiri, tentunya bebas mengatur waktu kerja sendiri.

C.    ANALISIS SWOT

SWOT adalah metode perencanaan strategi yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strenght), kelemahan (weakness), peluang (oportunity), dan ancaman (treath) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis.

1.       Strenght (Kekuatan)

Usaha mie ayam dan bakso ini memiliki ciri khas tersendiri dari produk lainnya ciri khasnya terletak pada bumbu kuahnya selain itu tempat penjualan yang strategis terletak di Jalan Kusuma Bangsa, Kelurahan Panjang Kota Pekalongan, tepatnya di depan Kampus I IAIN Pekalongan dan harga yang ditawarkan cukup murah dan terjangkau, untuk mie ayam dipatok dengan harga Rp.8.500 gratis es/teh hangat, mie ayam bakso Rp.12.500, mie ayam ceker Rp.10.500, untuk bakso urat/telur Rp.9.000 ditambah pelayanan yang memuaskan, rapi dan bersih sehingga usaha ini banyak diminati oleh masyarakat terutama mahasiswa/i.

2.       Weakness (Kelemahan)

Adapun kelemahan dari usaha ini,  seringkali tempat terkena banjir rob, banyaknya pesaing, tempatnya kurang luas serta tidak ada tempat parkir yang memadai sehingga dari kelemahan tersebut banyak mahasiswa yang mengeluh dan berpimdah ke tempat lain yang akan mengurangi pendapatan usaha tersebut.

3.       Opportunity (Peluang)

Usaha tersebut mencari peluang bisnis seperti kebiasaan mahasiswa yang mencari harga murah dengan rasa yang lezat, serta digemari oleh masyarakat dari semua kalangan. Sehingga dari peluang tersebut harapannya mendapat omzet yang lebih banyak.

4.       Threat (Ancaman)

Dari banyakmya kekuatan, kelemahan dan peluang dari bisnis tersebut terdapat ancaman yang dihadapi oleh pemilik usaha tersebut seperti banyaknya saingan bisnis yang serupa, harga bahan baku yang sewaktu-waktu dapat berubah, serta perubahan jadwal perkuliahan yang sewaktu-waktu dapat diliburkan.

D.    KENDALA

Dalam suatu usaha tentu ada kendala yang dihadapi oleh pengusaha, kendala tersebut diantaranya Banjir karena letaknya didekat pantai berpotensi banjir (rob), sehingga  menyebabkan tempat usaha banyak air menggenang dan mengurangi jumlah pembeli, harga bahan baku yang tidak stabil, tempat yang disediakan kurang memadai  sehingga sulit untuk menyediakan tempat untuk pembeli yang ingin makan di tempat ketika kebanjiran, serta kurangnya lahan tempat parkir.

 

E.     PROSPEK

Dalam hal ini pengusaha memiliki harapan yang tentunya untuk masa depan usahanya, harapan tersebut antaranya: pengusaha menginginkan tempat usaha sendiri, membuka cabang yang lebih luas, serta ingin membuka lapangan kerja bagi orang- orang yang belum memiliki pekerjaan. Sehingga dapat berkontribusi dalam memperbaiki perekonomian negara.

 

F.      DOKUMENTASI