BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manajemen likuiditas merupakan bagian dari kerangka
manajemen risiko industri keuangan yang lebih besar, yang berhubungan dengan
seluruh lembaga keuangan baik konvensional maupun syariah. Kegagalan dalam
manajemen risiko memiliki konsekuensi yang mengerikan, termasuk kolapsnya bank
dan pada gilirannya menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan. Pada
kenyataannya, sebagian besar kegagalan bank disebabkan kesulitan mengelola
masalah-masalah likuiditasnya[1]. Ini juga
yang menjadi alasan mengapa regulator sangat menaruh perhatian dengan posisi
likuiditas suatu lembaga keuangan dan pemikiran regulator saat ini berpusat
pada seputar penguatan kerangka kerja likuiditas.
Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi
bank untuk dikelola karena akan berdampak kepada profitabililitas serta
keberlanjutan dan kelangsungan usaha suatu bank. Begitu pentingnya likuiditas
ini, sehingga ditetapkan sebagai salah satu risiko yang harus dikelola dengan
baik oleh bank.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.
Apa Definisi dan Konsep
Manajemen Likuiditas?
2.
Bagaimana Manajemen Likuiditas
di Bank Syariah?
3.
Bagaimana Instrumen Manajemen
Likuiditas Bank Syariah?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui Definisi dan
Konsep Manajemen Likuiditas.
2.
Untuk mengetahui Manajemen
Likuiditas di Bank Syariah.
3.
Untuk mengetahui Instrumen
Manajemen Likuiditas Bank Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
dan Konsep Manajemen Likuiditas
Menurut teori intermediasi keuangan, dua alasan yang paling
penting terhadap keberadaan lembaga keuangan, khususnya bank, adalah penyediaan
likuiditas dan jasa keuangan. Mengenai penyediaan likuiditas, bank menerima
dana dari deposan dan menyalurkannya ke sektor riil, dan pada saat yang sama
menyediakan likuiditas untuk setiap penarikan dana simpanan. Namun peran bank
dalam mentransformasikan simpanan jangka pendek menjadi pinjaman jangka panjang
membuat mereka rentan secara inheren terhadap
risiko likuiditas (Bank For International Settlement (BIS), 2008 b:1).
Likuiditas adalah kemampuan menjual asset dalam waktu
singkat dengan kerugian yang paling minimal. Asset-asset likuid adalah asset
yang dipegang dalam bentuk tunai atau yang diinvestasikan dalam suatu instrumen
yang dapat diubah menjadi bentuk tunai seperti simpanan berupa giro, deposito
dan investasi pada sekuritas pemerintah yang likuid berjangka pendek[2].
Pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks
dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah
kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi kas/tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan
bank memenuhi kebutuhan dana melalui
peningkatan portofolio liabilitas.
Risiko likuiditas muncul sebagai salah satu risiko yang
paling penting dimana bank perlu menanganinya untuk menghindari kerugian jika
tidak dikelola dengan dengan baik. Risiko likuiditas didefinisikan secara luas
sebagai potensi kehilangan bagi bank yang muncul dari ketidakmampuan mereka
untuk memenuhi kewajiban atau untuk mendanai kenaikan asset saat jatuh tempo
tanpa menimbulkan biaya atau kerugian yang tidak dapat diterima (Greuning and
Bratanovic, 1999)[3].
Risiko ini terjadi ketika deposan secara kolektif
memutuskan untuk menarik dana mereka dalam jumlah yang lebih besar daripada
dana yang dimiliki bank (Hubbard, 2002:323), atau ketika peminjam gagal untuk
memenuhi kewajiban keuangan kepada bank. Dengan kata lain, risiko likuiditas terjadi dalam dua kasus. Pertama,
muncul secara simetris kepada debitur dalam hubungannya dengan bank, misalnya
ketika bank memutuskan untuk menghentikan kredit namun debitur tidak mampu
membelinya. Kedua, muncul dalam konteks hubungan bank dengan deposan, misalnya
ketika deposan memutuskan untuk menarik simpanan mereka tetapi pihak bank tidak
mampu memenuhinya (Greenbaum
dan Thakor, 1995:137).
Dalam prakteknya, bank menemui ketidakseimbangan (gap) antara sisi asset dan liabilitas yang perlu diseimbangkan karena
secara nature bank menerima
liabilitas dalam bentuk likuid tetapi menginvestasikannya dalam bentuk asset
tidak likuid (Zhu, 2001). Jika bank gagal untuk menyeimbangkan gap tersebut terjadilah risiko
likuiditas, yang diikuti dengan beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan
seperti risiko kepailitan (insolvency)
, risiko bail out pemerintah, dan
risiko reputasi. Kegagalan manajemen likuiditas disebabkan oleh kuatnya tekanan
likuiditas, penyiapan instrumen likuid bagi bank, kondisi bank pada saat
tekanan likuiditas, dan ketidakmampuan bank untuk menemukan sumber likuid
internal maupun
eksternal.
Likuiditas dapat dibagi ke dalam dua
jenis: likuiditas asset, yakni ketidakmampuan untuk menjual asset pada harga
pasar saat itu, dan instabilitas likuiditas dari suatu liabilitas (LIL), yang
mengacu kepada ketidakmampuan untuk menilai kecukupan dana untuk memenuhi
kewajiban bayar secara tepat waktu (instabilitas simpanan dasar dalam periode
yang lama).
Manajer bank harus berusaha untuk memaksimalkan return bank
dari asset total yang diinvestasikan. Akan tetapi manajemen bank juga
dihadapkan pada kebutuhan untuk memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi
jika terjadi mismatch maturitas dari
asset dan liabilitas. Risiko likuiditas bank syariah terutama sebagian besar
berasal dari kekurangan karena pendanaan jangka panjang.
Bank dengan profil likuiditas yang kuat harus mampu
bertahan. Sebagian besar dana lembaga keuangan islami berasal dari rekening
investasi melalui kontrak profit loss sharing (PLS) tanpa kewajiban tetap yang
melekat padanya. Sebaliknya masalah adalah kelebihan likuiditas. Bank syariah harus berhati-hati mengenai struktur maturitas asset mereka.
Agar tetap solven, bank perlu untuk memelihara asset bersifat jangka pendek.
Sebagai lembaga keuangan, bank harus mengelola penawaran
dan permintaan likuiditas dengan tepat agar dapat menjalankan usahanya secara
aman, menjaga hubungan baik dengan pemangku kepentingan dan menghindari masalah
risiko likuiditas. Risiko likuiditas biasanya terjadi karena kegagalan dalam
pengelolaan dana atau kondisi ekonomi yang kurang kondusif yang menyebabkan
likuiditas tak terduga karena penarikan dana oleh para nasabah. Manajemen
likuiditas yang kuat (robust)
merupakan tantangan tersendiri dan juga sulit dalam sistem ekonomi yang
kompetitif dan terbuka dengan pengaruh eksternal yang kuat serta pelaku pasar
yang sensitif (lihat Gambar 1). Pada dasarnya kegagalan bank dalam lingkungan
keuangan global saat ini terjadi karena kurang memadainya sistem manajemen
likuiditas dalam memecahkan situasi yang
merugikan (Goldman, 2007)[4].
B.
Manajemen
Likuiditas di Bank Syariah
Dua penyebab utama risiko likuiditas
adalah ketidakseimbangan asset dan liabilitas dan mismatch maturitas yang dapat
terjadi karena dua kondisi (Helmen et.al, 1994:164-165): (a) aktiva lancar yang
tersedia dalam porsi yang lebih besar daripada liabilitas volatile yang dikenal sebagai gap likuiditas, atau (b) jumlah dana
perkiraan yang diperlukan pada sisi aktiva lebih tinggi dari jumlah dana
perkiraan yang tersedia pada sisi liabilitas, yang dikenal sebagai kebutuhan
likuiditas (lihat gambar 2)[5].
Pengelolaan risiko likuiditas merupakan salah satu
tantangan paling penting bagi bank-bank islam karena dilarangnya
instrumen-instrumen berbasis riba. Hanya sedikit instrumen refinancing tanpa riba yang dapat digunakan, seperti
pasar uang antar bank. Dalam kondisi ini bank-bank islam tidak
memiliki kemungkinan yang komprehensif yang dapat
dilakukan, khususnya dalam hal transformasi jangka waktu dan risiko sebagai dua
fungsi utama dari lembaga intermediasi keuangan
(lihat Bitz 2005, Oehler 2006)[6]. Fungsi-fungi
intermediasi ini juga mengimplikasikan transformasi likuiditas. Langkah-langkah
rintisan untuk mengatasi batasan pengelolaan likuiditas bank-bank islam dengan memasukkan pasar modal dan pasar uang
yang sesuai dengan ketentuan syariah telah dilakukan di Malaysia, Bahrain dan
Arab Saudi. Akan tetapi, sektor keuangan islam perlu melanjutkan inovasinya
pada tingkat portofolio produk, pada tingkat kelembagaan dan peraturan untuk
memecahkan masalah keterbatasan dalam
refinancing bank.
Meskipun profit dan loss sharing merupakan prinsip utama
syariah, kontrak pendapatan tetap jangka pendek umumnya masih mendominasi
portofolio produk bank-bank islam. Bagi hasilnya bisa melebihi 80% dari seluruh
portofolio produk pada sisi asset, sehingga portofolio memperlihatkan
diversifikasi dan struktur risiko yang rendah. Hal ini umumnya terjadi karena
kebanyakan bank-bank islam memediasi di negara-negara dengan lingkungan hukum,
kelembagaan dan keuangan yang rendah. Hal ini biasanya menyebabkan tingkat
asimetri informasi yang tinggi dan perilaku oportunistik (moral hazard, hidden
action) dari para pelaku pasar serta kendala likuiditas dan tingginya biaya
modal bagi lembaga-lembaga perantara keuangan yang disebabkan oleh segmentasi pasar (lihat Aggarwal dan Yousef
2000, Chong
dan Liu 2007, Akacem 2008, Visser 2009, Al-Hasan
et al. 2010, Choudury dan Hoque 2006)[7]. Sebagai
akibatnya, preferensi terhadap bank-bank islam bersifat rasional dan reaksi
optimal, bahkan terhadap alternatif kontrak pembiayaan ekuitas dengan sistem
keuangan ganda (dual system) dengan
kemungkinan buruk pemilihan diantara keduanya. Tetapi dengan instrumen mark-up
yang digunakan dalam prakteknya yang sering dikritisi oleh pakar syariah dan
pakar ekonomi karena dianggap dekat dengan instrumen berbasis-bunga sehingga
dianggap tidak berbeda dari perspektif fungsional (lihat khan dan Ahmed, 2001,
El_Gamal, 2001, Rosly 2005, Sundararajan
2007, Chapra, 2007, Cihak dan Hesse, 2008)[8]. Bank-bank
islam biasanya memiliki rata-rata rasio ekuitas yang lebih tinggi. Jadi,
rata-rata rasio ekuitas yang tinggi merupakan respon terhadap terbatasnya
sumber pembiayaan yang kemudian membentuk cadangan modal tambahan sebagai
antisipasi terhadap terjadinya default.
Penggunaan
murabahah yang dijamin dengan komoditi dan pembiayaan dagang jangka pendek
memungkinan bank-bank syariah untuk menginvestasikan surplus kas jangka pendek.
Bank syariah harus mencoba untuk tidak tergantung kepada beberapa depositor
besar, sebaliknya mereka harus mencoba untuk memobilisasi simpanan mereka dari
depositor lainnya, melakuan diversifikasi sumber-sumber simpanan. Kelebihan
likuiditas bank syariah tidak dapat dengan mudah ditransfer ke bank
konvensional karena bank syariah tidak menerima konsep tentang riba; akan tetapi di sini ada suatu
ruang untuk pertukaran surplus dana diantara bank syariah. Semakin besar jumlah bank syariah dan semakin
lebar aktivitasnya, akan semakin besar pula lingkup kerjasama dalam bidang ini.
Maturitas investasi bank-bank harus dipelajari dengan baik
melalui identifikasi kekurangan likuiditas di masa depan dengan menyusun ladder maturitas berdasarkan waktu yang
tepat. Bank syariah mengklasifikasikan arus-arus kas termasuk di dalamnya
metode perilaku, dan dapat
mempertimbangkan dengan
membedakan jenis arus kas sebagai arus kas yang telah diketahui maturitasnya
dan jumlahnya telah diketahui sebelumnya. Kategori ini mencakup piutang dari
murabahah, ijarah, piutang dan berkurangnya musyarakah.
Bank syariah harus membuat analisa arus kas secara periodik
pada berbagai skenario dan kondisi pasar. Skenario dapat divariasi tergantung
pada kondisi pasar lokal, dan dapat berdasar (a) lingkungan operasi normal, (b)
skenario terburuk. Analisa harus memasukkan asumsi mengenai pembayaran kembali
modal yang telah diinvestasikan kepada pemegang deposito PLS. Bank syariah
harus menilai pengaruh tingkat ketergantungan mereka terhadap dana dari
pemegang rekening.
C.
Instrumen Manajemen Likuiditas
Bank Syariah
Salah satu pendekatan manajemen likuiditas yang paling penting
adalah kemampuan bank
untuk mendapatkan akses ke pasar sekunder seperti pasar modal
dan pasar uang
antar bank. Yang terakhir umumnya
merujuk pada kegiatan
peminjaman dan memberi pinjaman untuk periode
satu tahun atau kurang. Pasar uang telah menjadi tempat bagi
lembaga keuangan dan
pemerintah untuk mengelola
kebutuhan likuiditas jangka pendek
mereka. Jadi bank
biasanya berharap untuk memperoleh likuiditas
dari kedua sisi
neraca mereka dan
mempertahankan keberadaan aktif di pasar uang antar-bank.
Mereka melihat pasar
ini sebagai sumber untuk akuisisi discretionary dana
jangka pendek berdasarkan persaingan suku bunga, sebuah proses yang dapat
membantu memenuhi kebutuhan likuiditas mereka (Greuning & Bratanovic, 1999)[9].
Terdapat berbagai instrumen likuiditas jangka
pendek di pasar uang konvensional, yang menawarkan tingkat pengembalian yang
berbeda-beda. Instrumen ini termasuk treasury
bills, sertifikat deposito, repurchase
agreements, banker's acceptance,
surat berharga dan deposito uang antar-bank (Rosly, 2005). Semua instrumen
memiliki karakteristik yang berbeda yang berkaitan dengan jangka waktu mulai
dari overnight hingga satu tahun. Singkatnya, pasar uang antar-bank
memungkinkan bank-bank yang surplus untuk menyalurkan dana kepada bank yang
defisit menggunakan berbagai instrumen, dengan demikian mempertahankan dan
mekanisme pendanaan likuiditas yang diperlukan untuk meningkatkan stabilitas
sistem (Fabozzi dan Modigliani, 2003). Namun, sebagian besar instrumen yang
digunakan dalam pasar uang antar-bank merupakan instrumen dasarnya berbasis
bunga. Oleh karena itu, pembentukan pasar uang dengan instrumen sesuai syariah
tidak hanya diperlukan untuk kelancaran pertumbuhan industri saat ini tetapi
sudah menjadi keharusan.
Upaya awal untuk mengatasi masalah manajemen
likuiditas telah berfokus
pada penciptaan instrumen
hutang jangka pendek dan jangka panjang yang
sesuai dengan prinsip
Syariah. Hal ini terbukti,
di beberapa yurisdiksi,
melalui penerbitan instrumen keuangan syariah
yang beragam mulai dari kertas jangka
pendek untuk obligasi jangka panjang untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas dan investasi
lembaga perbankan Islam. Malaysia menjadi
negara pelopor dalam
inisiatif tersebut dengan pembentukan Islamic Inter-bank Money Market (IIMM).
Sebelum memanfaatkan instrumen
keuangan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, bank harus menentukan jenis
likuiditas yang dibutuhkan dan jenis instrumen yang harus dihentikan. Sebagai
contoh kebutuhan likuiditas musiman cocok untuk instrumen keuangan yang
sensitif terhadap waktu, kebutuhan likuiditas siklikal cocok untuk asset likuid
yang telah diperkirakan dengan tepat, dan likuiditas jangka panjang cocok untuk
kombinasi asset likuid jangka panjang dan menawarkan instrumen hutang jangka
pendek kepada bank lain secara bilateral atau melalui pasar uang (Helmen et al.,
1994:170).
Instrumen keuangan dapat diterapkan
untuk memecahkan kebutuhan likuiditas yang dapat diprediksi dan tidak dapat diprediksi. Untuk mengatasi
kebutuhan likuiditas yang tidak diprediksi bank melakukan
beberapa pilihan, seperti: (i) menjual instrumen
jangka pendek untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek, (ii) menjual instrumen
jangka panjang untuk kebutuhan likuiditas jangka
pendek, dan (iii) meminjam dana jangka pendek.
berkenaan dengan opsi
pertama, ada beberapa alternatif seperti
sertifikat deposito (NCD), pembelian kembali sertifikat deposito (CD),
banks acceptance
(BA), treasury bills (T-bills), sertifikat bank sentral,
dan penempatan antar
bank.
Untuk opsi kedua, ada obligasi bank sentral lokal
dan luar negeri dan obligasi pemerintah local dan luar negeri. Akhirnya, pada
opsi ketiga, ada penerbitan jangka pendek surat berharga ke pasar uang,
pinjaman bilateral antara bank, dan meminjam dana dari bank sentral. Sementara
itu, untuk memecahkan kebutuhan likuiditas yang dapat diprediksi, bank memiliki
empat pilihan, yaitu pinjaman pemegang saham, injeksi likuiditas perusahaan
induk, dana darurat bank sentral, dan bail
out pemerintah.
BAB III
PENUTUP
Manajemen likuiditas di bank syariah
merupakan bagian dari asset dan liability management yang secara umum bertujuan
untuk menjaga likuiditas suatu Bank Syariah agar kegiatan operasional tetap
berjalan dan kepercayaan masyarakat terjaga.
Pengelolaan likuiditas bertujuan
untuk mengoptimalisasi penggunaan dana agar tidak terjadi idle fund yang besar dan tidak terjebak dalam kesulitan likuiditas.
Untuk itu estimasi kebutuhan dana likuiditas yang diperoleh melalui proyeksi
arus kas menjadi sangat penting.
Pengelolaan
risiko likuiditas merupakan salah satu tantangan paling penting bagi bank-bank
islam karena dilarangnya instrumen-instrumen berbasis riba. Di sisi lain, instrumen di Pasar Uang Antar Bank Syariah masih
kurang. Malaysia menjadi negara pelopor dalam inisiatif
penerbitan instrumen keuangan syariah untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas dan investasi
lembaga perbankan Islam dengan pembentukan Islamic Inter-bank Money Market
(IIMM).
Instrumen
keuangan yang dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas seperti (i)
menjual instrumen jangka pendek untuk kebutuhan
likuiditas jangka pendek, (ii)
menjual instrumen jangka panjang untuk kebutuhan
likuiditas jangka pendek, dan (iii) meminjam
dana jangka pendek. berkenaan dengan opsi
pertama, ada beberapa alternatif seperti
sertifikat deposito (NCD), pembelian kembali sertifikat deposito (CD),
banks acceptance
(BA), treasury bills (T-bills), sertifikat bank sentral,
dan penempatan antar
bank.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rais Abdul
Majid, 2003, DEVELOPMENT OF LIQUIDITY
MANAGEMENT INSTRUMENTS: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES, International
Conference on Islamic Banking: Risk Management, Regulation and Supervision
Dusuki, Asyraf Wajdi
Dr., Commodity Murabahah Programme
(CMP): An Innovative Approach to Liquidity Management, Paper
Published in Journal of Islamic Banking, Volume 3, No. 1.
Fabozzi, F. J., &
Modigliani, F. (2003). Capital Markets: Institutions and Instruments (Third ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Greenbaum, S.I, and Thakor, A.V. (2007). Contemporary Financial Intermediation.
America: Elsevier Publication, 2nd Edition.
Helmen, G.; Simonson, D.; Coleman, A. (1994). Bank Management: Text and Cases.
America: John Wiley & Sons, Inc, 4th Edition.
Hubbard, G.R. (2002), Money, The Financial System, and the Economy. New Jersey: The Addison
Wesley Series in Economics, Person Education Inc.
Ismal,Rifki, 2010. Islamic Banking Characteristics, Economic
Condition and Liquidity Risk Problem (Indonesia Case : 2001 – 2007), http://etheses.dur.ac.uk/550/1/FULL_IN_ONE_FILE.pdf,
acces on June 1st 2011.
Ismal,
Rifki, Managing the Demand and Supply of
Liquidity in Islamic Banking (case of Indonesia) access on June 1st 2011,
http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads
Mahir
Alman, Liquidity Transformation
Factors of Islamic anks: An Empirical
Analysis, November
2010
Mark Largan, Banking Operation
2nd edition Chartered Institute of Bankers, United Kingdom, 2000
p.28.
Rosly, S. A. (2005). Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets: Islamic
Economics, Banking and Finance, Investments, Takaful and Financial Planning.
Kuala Lumpur: Dinamas Publishing.
Goldman Sach,.
(2007). Liquidity Risk Management. Goldman sachs officialwebsite
:http://www2.goldmansachs.com/our_firm/investor_
relations/creditor_relations/liquidity_risk_management/index.html.
Yahia Abdul-Rahman, ISLAMIC INSTRUMENTS
FOR MANAGING LIQUIDITY, International Journal of Islamic Financial
Services Vol. 1 No.1
Zhu, H. (2001). Bank
runs, Welfare and Policy Implications. Bank For International Settlement Working
Paper No. 107, Bassel.
[1]
Mark Largan Banking Operation 2nd edition Chartered Institute
of Bankers,
[2] Yahia
Abdul-Rahman, ISLAMIC INSTRUMENTS FOR
MANAGING LIQUIDITY , International
Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.1
[3]
[4] Rifki Ismal, Managing the
Demand and Supply of Liquidity in Islamic Banking (case of
[5] ISMAL, RIFKI (2010) THE MANAGEMENT OF LIQUIDITY RISK IN ISLAMIC BANKS: THE CASE OF
[6] Mahir Alman,
Liquidity Transformation Factors of Islamic
anks: An Empirical Analysis, November 2010
[7] Mahir Alman, Liquidity Transformation
Factors of Islamic anks: An Empirical
Analysis, November 2010
[8] ibid
[9]