Friday, November 30, 2018

CONTOH MAKALAH AYAT- AYAT HADIST


MEMAHAMI RIBA DAN BUNGA MENURUT AL QUR’AN
Disusun untuk memenuhi tugas makalah
Mata Kuliah: Ayat- ayat Hadits
osen pengampu: M. Nasrullah, MSI














                           Disusun Oleh:
1.      Ahmad Muzaki                  (2012116039)
2.      Reka Fairuz Salsabila        (2912116006)
3.      Zulfa Naimatul Zamziah   (2012116035)
4.      Laili Rahmawati                 (2012116021)

                           Kelompok 1

PROGAM STUDI D3 PERBANKAN SYARIAH KELAS A
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
KOTA PEKALONGAN





KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan Makalah yang  berjudul “Memahami Riba dan Bunga menurut Al-Quran” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tujuan penulisan ini memenuhi tugas yang disyaratkan dalam mata kuliah Ayat-ayat Hadits. Pembuatan makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan-bantuan yang dapat berupa bantuan moril maupun spiritual dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan banyak terimakasih kepada:
1.    M. Nasrullah, MSI selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Ayat-ayat Hadits.
2.     Teman-teman kelompok belajar Ayat- ayat hadits, yang telah bersedia membantu penulisan makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan optimal, namun tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan tangan terbuka menerima masukan yang membangun. Semoga tulisan ini berguna bagi semua pihak yang memanfaatkannya.



Pekalongan, 27 Februari 2017


(Penyusun)





DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................   ii  
Daftar Isi ............................................................................................................   iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................   1
A.    Latar belakang....................................................................................   1
B.     Rumusan Masalah...............................................................................   2
C.     Tujuan pembuatan makalah................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................   3  
A.    Pengertian Riba..................................................................................   3
B.     Macam-macam Riba...........................................................................   7
C.     Dampak Riba pada Ekonomi..............................................................   7
D.    Pengertian Bunga...............................................................................   8
E.     Ayat-ayat Al Quran tentang Bunga dan Riba....................................   9
F.      Alasan Bunga dilarang.......................................................................   12
BAB III PENUTUP...........................................................................................   14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................   15



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
Dewasa ini perbincangan mengenai riba dikalangan negeri Islam mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan menghindari persoalan riba mulai dilasanakan. Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah – olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang yang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedianya, tidak diberlakukan dinegeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa didunia Kristen pun, selama satu milenium, riba atau bunga adalah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
       Disisi lain, kita dihadapka pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang menambah ke berbagai negara ini suli diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadapa bisnis pembungaan uang. Perdebatan dikalangan ahli fiqh tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.[1]








B.       Rumusan masalah
Dari penjelasan latar belakang tersebut, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
1.        Apa pengertian Riba ?
2.        Apa saja macam-macam Riba ?
3.        Apa dampak Riba pada ekonomi ?
4.        Apa pengertian Bunga ?
5.        Jelaskan ayat- ayat Al Qur’an mengenai Riba dan Bunga ?
6.        Jelaskan alasan bunga dilarang ?

C.      Tujuan penulisan
Dari beberapa rumusan masalah tersebut, maka dapat dibuat tujuan penulisan sebagai berikut.
1.        Menjelaskan pengertian Riba.
2.        Menjelaskan macam-macam Riba.
3.        Menjelaskan dmapak riba pada ekonomi.
4.        Menjelaskan pengertian bunga.
5.        Menjelaskan Ayat- ayat Al Qur’an mengenai Bunga dan Riba.
6.        Menjelaskan alasan bunga dilarang.












BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Riba
Al-Qur’an dan Hadis menggunakan istilah ‘riba’ yang oleh para ahli diterjemahkan sebagai ‘bunga’. Berikut adalah pandangan dari para ahli tafsir Al-Qur’an dan para fukaha Islam yang menerangkan arti dan hakiki riba.

1.         Menurut Muhammad Asad
Dalam pengertian terminology yang umum, istilah tersebut bermakna “tambahan” kepada atau “kenaikan” dari sesuatu melebihi dan di atas jumlah atau ukurunnya yang asal.
Didalam terminology Al-Qur’an, istilah riba itu menunjukkan tambahan haram apa pun, melalui bunga, terhadap sejumlah uang atau barang yang dipinjamkan oleh seseorang atau lembaga kepada orang atau lembaga lain. Mengingat masalah ini, dalam hubungannya dengan situasi ekonomi yang berlaku luas pada atau sebelum masa itu, sebagian besar fukaha zaman dahulu melihat “tambahan haram” ini sebagai ‘laba’ yang diperoleh melalui pinjaman berbunga apa pun juga, tidak tergantung pada tingkat bunga dan motivasi ekonominya. Dan semuanya itu sebagaimana terbuktikan oleh banyaknya literature hukum yang ditulis dalam persoalan ini para ilmuwan islam Islam belum berhasil mencapai kata sepakat bulat mengenai definisi riba, sebuah definisi yang mencakup semua situasi legal dan secara positif bereaksi terhadap semua kondisi lingkungan ekonomi yang berubah – ubah. Meminjam kalimat Ibnu Katsir (dalam tafsirnya terhadap al-Baqarah [2]:275), “persoalan riba adalah salah satu persoalan yang paling sulit bagi para ahli ilmu (ahlul ‘ilm)”.  Hendaknya diingat bahwa ayat – ayat yang mengutuk dan melarang riba dalam pengertian hokum (al-Baqarah [2]: 275-281]) adalah wahyu terakhir yang diterima oleh Nabi, yang lalu wafat beberapa hari kemudian, sehingga para sahabat tidak memiliki kesempatan untuk bertanya kepada beliau mengenai implikasi syar’i serta perintah yang relevan dengannya sedemikian rupa, sehingga “Umar Ibnu al – Khathab diriwayatkan pernah berkata: “Yang terakhir (dari Al-Qur’an) yang diwahyukan adalah ayat tentang riba dan perhatikan utusan Allah wafat sebelum menerangkan artinya kepada kita” (Ibnu Hanbal, dari Sa’id Ibnu al – Musayyab). Meski demikian, kerasnya kecaman Al-Qur’an terhadap riba dan para pelakunya melengkapi, khusunya jika kita melihat latar belakang pengalaman ekonomi umat manusia selama abad yang bersangkutan – indikasi hakikat riba dengan cukup jelas, demikian pula implikasi social maupun moralnya. Demikian pula implikasi social maupun corak moralnya. Secara mudahnya, kekejian riba (dalam pengertian istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan di dalam banyak perkataan Nabi), yang mengikatkannya pada laba yang diperoleh melalui pinjaman berbunga itu menimbulkan penindasan terhadap pihak yang secara ekonomis lemah oleh yang kuat dan banyak akal, sebuah penindasan yang ditandai oleh kenyataan bahwa pemberi utang, di samping tetap secara penuh memiliki modal yang dipinjamkan, tidak punya ikatan hokum dengan tujuan maupun cara penggunaan dana yang dipinjamkannya, secara kontraktual tetap terjamin mendapat pemasukan, tak peduli akan adanya kerugian yang meungkin diderita oleh pengutang sebagai konsekuensi dari transaksi ini.

2.         Menurut Syed Abul A’la al-Maududi
Kata Arab ‘riba’ secara literal, berarti “peningkatan atas” atau “tambahan untuk” apa pun juga. Secara teknis, istilah itu digunakan untuk menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan oleh kreditur kepada debitur secara tetap pada pokok utang yang ia pinjamkan, yakni bunga. Pada masa diwahyukannya Al-Qur’an, bunga dipungut dengan berbagai cara. Misalnya, seseorang menjual sesuatu dan menetapkan suatu jangka waktu bagi pembayarannya, dan jika pembeli tidak mampu membayar dalam waktu bagi pembayarannya, dan jika pembeli tidak mempu membayar dalam waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia diberi perpanjangan waktu tetapi harus menambah jumlah uang dan minta agar debitur melunasinya bersama dengan sejumlah tambahan uang yang telah disepakati dalam periode waktu tertentu, atau suatu tingkat bunga ditetapkan untuk suatu masa tertentu dan jika pokok utang berikut bunganya tidak dibayar dalam jangka waktu tersebut, maka suku bunga dinaikkan karena perpanjangan waktu tersebut dan sebagainya.

3.         Menurut Afzalur Rahman
Afzalur Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan pendapat beberapa fukaha Islam klasik sebagai berikut.
Al-Quran menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut kamus, arti riba adalah kelebihan atau peningkatan atau surplus, tetapi dalam ilmu ekonomi, kata itu berarti surplus pendapatan yang didapat oleh pemberi utang dari pengutang, lebih tinggi dan di atas jumlah pokok utang, sebagai imbalan karena menunggu atau memisahkan bagian yang likuid dari modalnya selama jangka waktu tertentu.
Riba, di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang dituntut dengan suatu cara tertentu, Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika membicarakan riba, menyetakan bahwa “intinya, riba adalah kelebihan, baik dalam komoditas (itu sendiri) ataupun dalam uang, seperti dua dinar ditukarkan dengan tiga dinar.”
Ayat 278 surat al-Baqarah [2] dalam Al-Qur’an memerintahkan kita untuk menghentikan riba sedangkan ayat 279 memperbolehkan pemberi utang mengambil kembali sejumlah pokok utang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Itu berarti bahwa riba adalah jumlah (uang) yang dipungut oleh pemberi utang dari debitur di atas modal yang dia pinjamkan. Jumlah yang ditambahkan itulah yang dinyatakan haram oleh Al-Qur’an. Jadi, menurut Al-Quran, setiap tambahan yang diperoleh di atas pokok utang adalah ‘riba’ berapa pun tinggi atau rendahnya suku bunga yang dikenakan itu dan untuk apa utang itu diberikan.
       Nabi Muhammad, dalam hadits beliau telah menerangkan dan menjelaskan bahwa unsur riba itu didapati tidak hanya dalam pinjaman uang saja melainkan juga dalam semua bentuk transaksi barter ketika seseorang menerima kelebihan dari barang yang dipertukarkan. Dari khotbah Nabi yang beliau sampaikan waktu haji perpisahan (haji wada’), dengan mudah kita dapat menemukan definisi riba. Dalam khotbah tersebut, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Segala bentuk ‘riba’ dihapus hanya pokok modalmu saja yang menjadi hakmu, janganlah menzalimi maka kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memberikan aturan bahwa bunga terlarang secara total. Bunga yang pertama saya hapus adalah bunga (yang seharusnya dibayar orang kepada) ‘Abbas bin’Abdul Muthalib dan saya nyatakan semua itu dihapus.” Jadi semua bentuk riba telah dihapus oleh Nabi dan pemberi utang hanya boleh menerima kembali jumlah pokok yang telah dipinjamkannya, yang bermakna kembali jumlah pokok yang telah dipinjamkannya, yang bermakna bahwa setiap tambahan terhadap jumlah pokok utang yang dipinjamkannya adalah riba’ tanpa melihat tinggi atau rendahnya suku bunga yang dikenakan dan tanpa melihat tujuan pemberian utang itu.[2]
       Secara leksikal, kata riba berarti bertumbuh, menambah atau berlebih. Al- Riba atau Ar- Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adabun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atau modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or ilegal rate of interest”. Sementara para ulama fiqh mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/ gantinya”.[3]
Menurut bahasa, riba adalah ziyadah, yaitu tambahan yang diminta atas utang pokok, setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang bertentangan dengan prinsip Islam.[4]




B.       Macam-macam Haramnya Riba
Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu fadli, qardhi, yad dan nasa’. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi menjadi tiga bagian yaitu, fadli, nasa dan yad. Adapun riba qardhi dikategorikan pada riba nasa’.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut.[5]
1.        Riba Fadli, yaitu tukar menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda, misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis misalnya beras dengan beras, uang dan uang, emas dan emas.
2.        Riba Qardi, yaitu utang piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya, seorang bertukar Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar       Rp. 26.000,- atau seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30% perbulan.
3.        Riba Yadh, yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepad siapa pun, sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama.
4.        Riba Nasiah, yaitu melebihkan pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan karena dilambatkan waktu pembayarannya. Misalnya, menjual emas seharga Rp. 200.000,- jika dijual tunai dan menjual seharga                 Rp. 300.000,- jika diangsur (kredit).

C.    Dampak Riba pada Ekonomi
Sekarang ini masalah riba sudah mengalami perubahan, orang yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan. Ini berarti memutuskan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Sehingga mengakibatkan, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu proses yang terjadi dalam siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi, karenanya siklus ekonomi yang terjad berulang-ulang disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat, bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat biasa disebut riba. Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan mengakibatkan pula jumlah pengangguran.
Lord Keynes pernah mengeluh dihadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan, bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga terebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antar orang-perorang maupun hubungan antarnegara, seperti Inggris dan Amerika Serikat.[6]

D.      Pengertian Bunga
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a financial loam, usually a precentage of the amount loaned” bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal”.[7]

E.       Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Bunga
Di masa-masa awal munculnya Islam, bunga telah ada di dalam masyarakat Arab baik dalam transaksi pinjaman uang maupun transaksi barter komoditas. Oleh karena bunga itu mengakar dalam-dalam di dalam kehidupan ekonomi masyarakat, maka dalam melarang bunga pun Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur, sebagaimana pelarangan minuman keras, sehingga kehidupan ekonomi masyarakat tidak mendadak kacau.
Jika kita urutkan waktu diturunkannya, ayat-ayat tersebut secara berangsur-angsur melarang bunga. Ayat yang pertama dalam Al-Qur’an:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
 Dan riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S ar-Rum [30]:39)
diturunkan mengenai bunga yang dibandingkan dengan zakat. Disitu dinyatakan bahwa bunga tidak menambah harta manusia, malah sebalikya, yaitu mengurangi, sementara zakat meningkatkan secara berlipat-lipat.  Dalam ayat yang turun berikutnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan beripat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”  (Q.S Ali-Imron [3]: 130)”,
 kaum mukminin diberitahu agar tidak makan bunga berbunga yang berlipat hingga dua atau bahkan empat kali asal pinjaman. Dalam ayat berikutnya:
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
 Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padaya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih. (Q.S An-Nisaa’ [4]: 161)”,
kaum Muslimin diingatkan untuk mematuhi perintah Al-Qur’an mengenai pelanggaran bunga agar mereka tidak usah merasakan derita kaum Yahudi yang melanggar larangan bunga dan akan menerima siksa yang pedih. Akhirnya, turunlah wahyu terakhir:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
 Orang –orang yang makan (mengambil) riba’ tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus bewrhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penguhuni neraka; mereka kekal didalamnya”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 276)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”  (Q.S Al-Baqarah [2]: 277)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 278)
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Maka, jika kamu tidak mengerjakan (yaitu meniggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 279)”
yang melarang bunga. Ayat – ayat ini membedakan  antara perdagangan (bai’) dan bunga (riba). Ayat itu mengutuk bunga berikut pemakannya dan memuji keberkahan sedekah. Ayat tersebut secara mutlak melarang pemungutan bunga dan memerintahan kaum mukminin untuk menghentikannya serta menerima pengembalian hanya modal pokoknya saja. Akhirnya, ayat tersebut mengingatkan mereka untuk memperhatikan perang dari Allah dan Rasullah jika mereka tetap melanggar aturan dan kembali makan bunga.[8]

F.       Alasan Bunga Dilarang
Bunga bukan hanya dilarang dan dinyatakan haram oleh Islam melainkan juga dikutuk dengan keras sebagai serbuan kejahatan ke dunia ini dan dosa besar yang akan mendapat siksa di hari kiamat. Menurut Al-Qur’an, memungut bunga itu sama artinya dengan perang melawan Allah dan Utusan-Nya, sedangkan menurut Sunnah, bunga itu adalah kejahatan dan perbuatan dosa yang lebih keji daripada perzinaan. Tetapi lepas dari pelarangan yang telah dinyatakan oleh Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, para ahli ilmu dan fukaha harus menemukan alasan dan menerangkan mengapa bunga itu dilarang.
Tentang alasan dilarangnya bunga, terdapat beberapa pandangan yang saling berbeda. Namun paling tidak mereka sepakat mengenai satu hal, yakni bahwa pelarangan tersebut adalah karena alsan adanya bahaya moral, social, dan ekonomi di dalam bunga.
Berikut adalah alasan bunga dilarang.
1.    Riba atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan, tak peduli, kejam, rakus, dan penyembahan kepada harta. Bunga menghancurkan semangat simpati, saling tolong dan kerja sama, serta memengaruhi rasa kasih sayang, persaudaraan dan persatuan di dalam masyarakat.
2.    Bunga mengembangbiakkan kemalasan dan menimbulkan pendapatan tanpa bekerja. Bukannya menangani usaha bisnis dan menggunakan kelihaian, kecakapan, pengetahuan berbisnis serta entrepreneurship, orang yang memiliki uang malah meminjamkannya demi bunga dan dengan demikian lalu hidup seperti parasit. Biasanya, uang yang didapatkan dengan mudah seperti itu dihamburkan pada hal-hal yang tak baik seperti judi, pacuan kuda, pertahuan, minum dan zina, atau belanja barang mewah, pesta pernikahan, dan pesta pora lainnya.
3.    Bunga juga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi. Ia mendorong orang melakukan penimbunan (hoarding) uang, sehingga mempengaruhi peredarannya di antara sebagian besar anggota mesyarakat. Ia juga menyebabkan timbulnya monopoli, kartel serta konsentrasi kekayaan di tangan sedikit orang. Dengan demikian, distribusi kekayaan di dalam masyarakat menjadi tidak merata dan celah antara si kaya dan si miskin ini pun melebar. Masyarakat pun dengan tajam terbagi menjadi dua kelompok kaya dan miskin yang pertentangan kepentingan mereka memengaruhi kedamaian dan harmoni di dalam masyarakat. Lebih lagi, karena bunga pula maka distorsi ekonomi sperti resensi, depresi, inflasi, dan pengangguran terjadi.
4.    Investasi modal terhalang dari perusahaan – perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun proyek yang ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi Negara berbelok kea rah perusahaan-perusahaan yang memiliki prospek laba yang sama atau lebih tinggi daripada suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun perusahaan tersebut tidak atau sedikit saja memiliki nilai sosial.
5.    Bunga yang dipungut pada utang internasional malah lebih buruk lagi karena memperoleh DSR (debt-service ratio) Negara-negara debitur. Bunga itu tidak hanya menghalangi pembangunan ekonomi Negara-negara miskin, melainkan juga menimbulkan transfer sumber daya dari Negara miskin ke Negara kaya. Lebih dari itu, ia juga memengaruhi hubungan antara Negara miskin dan kaya sehingga membahayakan keamanan dan perdamaian internasional.[9]


BAB III
PENUTUP

Riba, di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang dituntut dengan suatu cara tertentu, Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika membicarakan riba, menyetakan bahwa “intinya, riba adalah kelebihan baik dalam komoditas (itu sendiri) ataupun dalam uang, seperti dua dinar ditukarkan dengan tiga dinar.” Jadi kesimpulannya, riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Dan riba merupakan suatu hal yang dilarang oleh Allah dan rasulnya yang telah dijelaskan dalam Al Quran. Riba menjadikan malas bekerja dengan cara yang sehat dan ini berakibat merugikan orang lain.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut.
1.        Riba Fadli,
2.        Riba Qardi
3.        Riba Yadh
4.        Riba Nasiah
Sedangkan bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang dipinjamkan. Alasan Bunga Dilarang.
1.        Riba atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan, tak peduli, kejam, rakus, dan penyembahan kepada harta.
2.        Bunga mengembangbiakkan kemalasan dan menimbulkan pendapatan tanpa bekerja.
3.        Bunga juga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi.
4.        Investasi modal terhalang dari perusahaan – perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan.
5.        Bunga yang dipungut pada utang internasional malah lebih buruk lagi karena memperoleh DSR (debt-service ratio) Negara-negara debitur.
DAFTAR PUSTAKA

Muhamad. 2002. Bank Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia.
Chaudhry , Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.
Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana.
Sahrani,  Sohari  dan  Abdullah, Ru’fah. 2011.  Fikih  Muamalah.  Bogor: Penebit
Ghalia Indonesia.


[1] Muhamad, Bank Syari’ah (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hlm. 23.  
[2] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 224-229.
[3] Muhamad, Bank Syari’ah (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hlm. 28.
[4] Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 11.
[5] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 58.
[6] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, hlm. 58, mengutip Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 64-65.
[7] Muhamad, Bank Syari’ah, hlm.28.   
[8]  Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 215-218.
[9] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, hlm. 234-236 .