MEMAHAMI RIBA DAN BUNGA MENURUT AL
QUR’AN
Disusun
untuk memenuhi tugas makalah
Mata
Kuliah: Ayat- ayat Hadits
osen
pengampu: M. Nasrullah, MSI
Disusun
Oleh:
1. Ahmad Muzaki (2012116039)
2. Reka Fairuz
Salsabila (2912116006)
3. Zulfa Naimatul Zamziah (2012116035)
4. Laili Rahmawati (2012116021)
Kelompok
1
PROGAM
STUDI D3 PERBANKAN SYARIAH KELAS A
JURUSAN
SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
KOTA
PEKALONGAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan
kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulisan Makalah yang berjudul “Memahami
Riba dan Bunga menurut Al-Quran” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Tujuan penulisan ini memenuhi tugas
yang disyaratkan dalam mata kuliah Ayat-ayat Hadits. Pembuatan makalah ini
tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan-bantuan yang
dapat berupa bantuan moril maupun spiritual dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, kami ucapkan banyak terimakasih kepada:
1. M.
Nasrullah, MSI selaku
dosen pembimbing dalam mata kuliah Ayat-ayat Hadits.
2. Teman-teman kelompok belajar Ayat-
ayat hadits, yang telah bersedia membantu penulisan makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan
optimal, namun tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan. Oleh karena itu,
kami dengan tangan terbuka menerima masukan yang membangun. Semoga tulisan ini
berguna bagi semua pihak yang memanfaatkannya.
Pekalongan, 27 Februari 2017
(Penyusun)
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ................................................................................................... ii
Daftar
Isi ............................................................................................................ iii
BAB
I
PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan pembuatan
makalah................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A. Pengertian Riba.................................................................................. 3
B. Macam-macam Riba........................................................................... 7
C. Dampak Riba pada
Ekonomi.............................................................. 7
D. Pengertian Bunga............................................................................... 8
E. Ayat-ayat Al
Quran tentang Bunga dan Riba.................................... 9
F. Alasan Bunga
dilarang....................................................................... 12
BAB III PENUTUP........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dewasa ini perbincangan mengenai riba dikalangan negeri Islam
mencuat kembali. Sehingga upaya-upaya melakukan usaha yang bertujuan
menghindari persoalan riba mulai dilasanakan. Istilah dan persepsi mengenai
riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah – olah
doktrin riba adalah khas Islam. Orang yang sering lupa bahwa hukum larangan
riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam
buku ensiklopedianya, tidak diberlakukan dinegeri Islam modern manapun. Sementara
itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa didunia Kristen pun, selama satu
milenium, riba atau bunga adalah barang terlarang dalam pandangan teolog,
cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Disisi lain, kita
dihadapka pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang menambah ke berbagai
negara ini suli diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan
pengaturan dan pembatasan terhadapa bisnis pembungaan uang. Perdebatan
dikalangan ahli fiqh tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka
masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang
bermacam-macam tentang bunga dan riba.[1]
B.
Rumusan masalah
Dari penjelasan
latar belakang tersebut, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
1.
Apa
pengertian Riba ?
2.
Apa saja macam-macam Riba ?
3.
Apa dampak Riba pada ekonomi ?
4.
Apa pengertian Bunga ?
5.
Jelaskan
ayat- ayat Al Qur’an mengenai Riba dan Bunga ?
6.
Jelaskan alasan bunga dilarang ?
C.
Tujuan penulisan
Dari
beberapa rumusan masalah tersebut, maka dapat dibuat tujuan penulisan sebagai
berikut.
1.
Menjelaskan
pengertian Riba.
2.
Menjelaskan macam-macam Riba.
3.
Menjelaskan dmapak riba pada ekonomi.
4.
Menjelaskan pengertian bunga.
5.
Menjelaskan
Ayat- ayat Al Qur’an mengenai Bunga dan Riba.
6.
Menjelaskan alasan bunga dilarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
Al-Qur’an dan Hadis menggunakan istilah ‘riba’ yang oleh para ahli
diterjemahkan sebagai ‘bunga’. Berikut adalah pandangan dari para ahli tafsir
Al-Qur’an dan para fukaha Islam yang menerangkan arti dan hakiki riba.
1.
Menurut Muhammad Asad
Dalam pengertian terminology yang umum, istilah tersebut bermakna
“tambahan” kepada atau “kenaikan” dari sesuatu melebihi dan di atas jumlah atau
ukurunnya yang asal.
Didalam terminology Al-Qur’an, istilah riba itu menunjukkan
tambahan haram apa pun, melalui bunga, terhadap sejumlah uang atau barang yang
dipinjamkan oleh seseorang atau lembaga kepada orang atau lembaga lain.
Mengingat masalah ini, dalam hubungannya dengan situasi ekonomi yang berlaku
luas pada atau sebelum masa itu, sebagian besar fukaha zaman dahulu melihat
“tambahan haram” ini sebagai ‘laba’ yang diperoleh melalui pinjaman berbunga
apa pun juga, tidak tergantung pada tingkat bunga dan motivasi ekonominya. Dan
semuanya itu sebagaimana terbuktikan oleh banyaknya literature hukum yang
ditulis dalam persoalan ini para ilmuwan islam Islam belum berhasil mencapai
kata sepakat bulat mengenai definisi riba, sebuah definisi yang mencakup semua
situasi legal dan secara positif bereaksi terhadap semua kondisi lingkungan
ekonomi yang berubah – ubah. Meminjam kalimat Ibnu Katsir (dalam tafsirnya
terhadap al-Baqarah [2]:275), “persoalan riba adalah salah satu
persoalan yang paling sulit bagi para ahli ilmu (ahlul ‘ilm)”. Hendaknya diingat bahwa ayat – ayat yang
mengutuk dan melarang riba dalam pengertian hokum (al-Baqarah [2]:
275-281]) adalah wahyu terakhir yang diterima oleh Nabi, yang lalu wafat
beberapa hari kemudian, sehingga para sahabat tidak memiliki kesempatan untuk
bertanya kepada beliau mengenai implikasi syar’i serta perintah yang relevan
dengannya sedemikian rupa, sehingga “Umar Ibnu al – Khathab diriwayatkan pernah
berkata: “Yang terakhir (dari Al-Qur’an) yang diwahyukan adalah ayat tentang
riba dan perhatikan utusan Allah wafat sebelum menerangkan artinya kepada kita”
(Ibnu Hanbal, dari Sa’id Ibnu al – Musayyab). Meski demikian, kerasnya kecaman
Al-Qur’an terhadap riba dan para pelakunya melengkapi, khusunya jika kita
melihat latar belakang pengalaman ekonomi umat manusia selama abad yang
bersangkutan – indikasi hakikat riba dengan cukup jelas, demikian pula
implikasi social maupun moralnya. Demikian pula implikasi social maupun corak
moralnya. Secara mudahnya, kekejian riba (dalam pengertian istilah yang digunakan
di dalam Al-Qur’an dan di dalam banyak perkataan Nabi), yang mengikatkannya
pada laba yang diperoleh melalui pinjaman berbunga itu menimbulkan penindasan
terhadap pihak yang secara ekonomis lemah oleh yang kuat dan banyak akal,
sebuah penindasan yang ditandai oleh kenyataan bahwa pemberi utang, di samping
tetap secara penuh memiliki modal yang dipinjamkan, tidak punya ikatan hokum
dengan tujuan maupun cara penggunaan dana yang dipinjamkannya, secara
kontraktual tetap terjamin mendapat pemasukan, tak peduli akan adanya kerugian
yang meungkin diderita oleh pengutang sebagai konsekuensi dari transaksi ini.
2.
Menurut Syed Abul A’la al-Maududi
Kata Arab ‘riba’ secara literal, berarti “peningkatan atas” atau
“tambahan untuk” apa pun juga. Secara teknis, istilah itu digunakan untuk
menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan oleh kreditur kepada debitur secara
tetap pada pokok utang yang ia pinjamkan, yakni bunga. Pada masa diwahyukannya
Al-Qur’an, bunga dipungut dengan berbagai cara. Misalnya, seseorang menjual
sesuatu dan menetapkan suatu jangka waktu bagi pembayarannya, dan jika pembeli
tidak mampu membayar dalam waktu bagi pembayarannya, dan jika pembeli tidak
mempu membayar dalam waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia diberi
perpanjangan waktu tetapi harus menambah jumlah uang dan minta agar debitur
melunasinya bersama dengan sejumlah tambahan uang yang telah disepakati dalam
periode waktu tertentu, atau suatu tingkat bunga ditetapkan untuk suatu masa
tertentu dan jika pokok utang berikut bunganya tidak dibayar dalam jangka waktu
tersebut, maka suku bunga dinaikkan karena perpanjangan waktu tersebut dan
sebagainya.
3.
Menurut Afzalur Rahman
Afzalur Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan
pendapat beberapa fukaha Islam klasik sebagai berikut.
Al-Quran menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut kamus, arti
riba adalah kelebihan atau peningkatan atau surplus, tetapi dalam ilmu ekonomi,
kata itu berarti surplus pendapatan yang didapat oleh pemberi utang dari
pengutang, lebih tinggi dan di atas jumlah pokok utang, sebagai imbalan karena
menunggu atau memisahkan bagian yang likuid dari modalnya selama jangka waktu
tertentu.
Riba, di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang
dituntut dengan suatu cara tertentu, Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika
membicarakan riba, menyetakan bahwa “intinya, riba adalah kelebihan, baik dalam
komoditas (itu sendiri) ataupun dalam uang, seperti dua dinar ditukarkan dengan
tiga dinar.”
Ayat 278 surat al-Baqarah [2] dalam Al-Qur’an memerintahkan kita
untuk menghentikan riba sedangkan ayat 279 memperbolehkan pemberi utang
mengambil kembali sejumlah pokok utang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Itu
berarti bahwa riba adalah jumlah (uang) yang dipungut oleh pemberi utang dari
debitur di atas modal yang dia pinjamkan. Jumlah yang ditambahkan itulah yang
dinyatakan haram oleh Al-Qur’an. Jadi, menurut Al-Quran, setiap tambahan yang
diperoleh di atas pokok utang adalah ‘riba’ berapa pun tinggi atau rendahnya
suku bunga yang dikenakan itu dan untuk apa utang itu diberikan.
Nabi Muhammad, dalam
hadits beliau telah menerangkan dan menjelaskan bahwa unsur riba itu didapati
tidak hanya dalam pinjaman uang saja melainkan juga dalam semua bentuk
transaksi barter ketika seseorang menerima kelebihan dari barang yang
dipertukarkan. Dari khotbah Nabi yang beliau sampaikan waktu haji perpisahan
(haji wada’), dengan mudah kita dapat menemukan definisi riba. Dalam khotbah
tersebut, diriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Segala bentuk ‘riba’ dihapus hanya
pokok modalmu saja yang menjadi hakmu, janganlah menzalimi maka kamu tidak akan
dizalimi. Allah telah memberikan aturan bahwa bunga terlarang secara total.
Bunga yang pertama saya hapus adalah bunga (yang seharusnya dibayar orang
kepada) ‘Abbas bin’Abdul Muthalib dan saya nyatakan semua itu dihapus.” Jadi
semua bentuk riba telah dihapus oleh Nabi dan pemberi utang hanya boleh
menerima kembali jumlah pokok yang telah dipinjamkannya, yang bermakna kembali
jumlah pokok yang telah dipinjamkannya, yang bermakna bahwa setiap tambahan
terhadap jumlah pokok utang yang dipinjamkannya adalah riba’ tanpa melihat
tinggi atau rendahnya suku bunga yang dikenakan dan tanpa melihat tujuan
pemberian utang itu.[2]
Secara leksikal, kata riba berarti
bertumbuh, menambah atau berlebih. Al- Riba atau Ar- Rima makna asalnya ialah
tambah, tumbuh, dan subur. Adabun pengertian tambah dalam konteks riba adalah
tambahan uang atau modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan
syara’, riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury”
yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or ilegal rate of
interest”. Sementara para ulama fiqh mendefinisikan riba dengan “kelebihan
harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/ gantinya”.[3]
Menurut bahasa, riba adalah ziyadah, yaitu tambahan yang
diminta atas utang pokok, setiap tambahan yang diambil dari transaksi utang
piutang bertentangan dengan prinsip Islam.[4]
B.
Macam-macam Haramnya Riba
Menurut sebagian ulama, riba dibagi
menjadi empat macam, yaitu fadli, qardhi, yad dan nasa’.
Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi
menjadi tiga bagian yaitu, fadli, nasa dan yad. Adapun riba
qardhi dikategorikan pada riba nasa’.
Menurut para
ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba itu ada empat macam,
yaitu sebagai berikut.[5]
1.
Riba Fadli, yaitu tukar
menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda, misalnya
menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis misalnya beras
dengan beras, uang dan uang, emas dan emas.
2.
Riba Qardi, yaitu utang
piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya, seorang bertukar
Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar Rp. 26.000,- atau seperti rentenir yang
meminjamkan uangnya dengan pengembalian 30% perbulan.
3.
Riba Yadh, yaitu jual beli
yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari si penjual
dan tidak boleh menjualnya lagi kepad siapa pun, sebab barang yang dibeli belum
diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama.
4.
Riba Nasiah, yaitu melebihkan
pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan karena dilambatkan
waktu pembayarannya. Misalnya, menjual emas seharga Rp. 200.000,- jika dijual
tunai dan menjual seharga
Rp. 300.000,- jika diangsur (kredit).
C. Dampak Riba pada Ekonomi
Sekarang ini
masalah riba sudah mengalami perubahan, orang yang dipinjamkan merupakan asas
pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan. Ini berarti memutuskan harta
pada penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil
dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi
juga kecil. Sehingga mengakibatkan, daya beli kebanyakan anggota masyarakat
kecil pula.
Hal ini merupakan
masalah penting dalam ekonomi, yaitu proses yang terjadi dalam siklus-siklus
ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi, karenanya siklus ekonomi yang terjad
berulang-ulang disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat, bahwa
penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal
atau dengan singkat biasa disebut riba. Riba dapat menimbulkan over produksi.
Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah, sehingga persediaan
jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena
produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari
kerugian yang lebih besar dan mengakibatkan pula jumlah pengangguran.
Lord Keynes
pernah mengeluh dihadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang
bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan, bahwa
negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika,
bunga terebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat
meretakkan hubungan, baik hubungan antar orang-perorang maupun hubungan
antarnegara, seperti Inggris dan Amerika Serikat.[6]
D.
Pengertian Bunga
Secara leksikal, bunga sebagai
terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan
dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is a charge for a
financial loam, usually a precentage of the amount loaned” bunga adalah
tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari
uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest yaitu
sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah
tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase
modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal”.[7]
E.
Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Bunga
Di masa-masa awal munculnya Islam, bunga telah ada di dalam
masyarakat Arab baik dalam transaksi pinjaman uang maupun transaksi barter
komoditas. Oleh karena bunga itu mengakar dalam-dalam di dalam kehidupan
ekonomi masyarakat, maka dalam melarang bunga pun Al-Qur’an diwahyukan secara
berangsur-angsur, sebagaimana pelarangan minuman keras, sehingga kehidupan
ekonomi masyarakat tidak mendadak kacau.
Jika
kita urutkan waktu diturunkannya, ayat-ayat tersebut secara berangsur-angsur
melarang bunga. Ayat yang pertama dalam Al-Qur’an:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي
أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ
اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan riba (tambahan) yang
kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang maksudkan untuk
mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S ar-Rum [30]:39)
diturunkan mengenai bunga yang dibandingkan dengan zakat. Disitu
dinyatakan bahwa bunga tidak menambah harta
manusia, malah sebalikya, yaitu mengurangi, sementara zakat meningkatkan secara
berlipat-lipat. Dalam ayat yang turun
berikutnya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
beripat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.S
Ali-Imron [3]: 130)”,
kaum mukminin diberitahu
agar tidak makan bunga berbunga yang berlipat hingga dua atau bahkan empat kali
asal pinjaman. Dalam ayat berikutnya:
وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا
أَلِيمًا
“Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padaya, dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan
untuk orang orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih. (Q.S
An-Nisaa’ [4]: 161)”,
kaum Muslimin diingatkan untuk mematuhi perintah Al-Qur’an mengenai
pelanggaran bunga agar mereka tidak usah merasakan derita kaum Yahudi yang
melanggar larangan bunga dan akan menerima siksa yang pedih. Akhirnya, turunlah
wahyu terakhir:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang –orang yang makan (mengambil) riba’
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
bewrhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penguhuni neraka;
mereka kekal didalamnya”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 275)
يَمْحَقُ
اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa”. (Q.S Al-Baqarah
[2]: 276)
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا
الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S Al-Baqarah [2]:
277)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman”.
(Q.S Al-Baqarah [2]: 278)
فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Maka, jika kamu tidak mengerjakan (yaitu meniggalkan sisa riba),
maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Q.S
Al-Baqarah [2]: 279)”
yang melarang bunga. Ayat – ayat ini membedakan antara perdagangan (bai’) dan bunga (riba).
Ayat itu mengutuk bunga berikut pemakannya dan memuji keberkahan sedekah. Ayat
tersebut secara mutlak melarang pemungutan bunga dan memerintahan kaum mukminin
untuk menghentikannya serta menerima pengembalian hanya modal pokoknya saja.
Akhirnya, ayat tersebut mengingatkan mereka untuk memperhatikan perang dari
Allah dan Rasullah jika mereka tetap melanggar aturan dan kembali makan bunga.[8]
F.
Alasan Bunga Dilarang
Bunga bukan hanya dilarang dan dinyatakan haram oleh Islam
melainkan juga dikutuk dengan keras sebagai serbuan kejahatan ke dunia ini dan
dosa besar yang akan mendapat siksa di hari kiamat. Menurut Al-Qur’an, memungut
bunga itu sama artinya dengan perang melawan Allah dan Utusan-Nya, sedangkan
menurut Sunnah, bunga itu adalah kejahatan dan perbuatan dosa yang lebih keji
daripada perzinaan. Tetapi lepas dari pelarangan yang telah dinyatakan oleh
Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, para ahli ilmu dan fukaha harus menemukan alasan
dan menerangkan mengapa bunga itu dilarang.
Tentang alasan dilarangnya bunga, terdapat beberapa pandangan yang
saling berbeda. Namun paling tidak mereka sepakat mengenai satu hal, yakni
bahwa pelarangan tersebut adalah karena alsan adanya bahaya moral, social, dan
ekonomi di dalam bunga.
Berikut adalah alasan bunga dilarang.
1.
Riba
atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan,
tak peduli, kejam, rakus, dan penyembahan kepada harta. Bunga menghancurkan
semangat simpati, saling tolong dan kerja sama, serta memengaruhi rasa kasih
sayang, persaudaraan dan persatuan di dalam masyarakat.
2.
Bunga
mengembangbiakkan kemalasan dan menimbulkan pendapatan tanpa bekerja. Bukannya
menangani usaha bisnis dan menggunakan kelihaian, kecakapan, pengetahuan
berbisnis serta entrepreneurship, orang yang memiliki uang malah
meminjamkannya demi bunga dan dengan demikian lalu hidup seperti parasit.
Biasanya, uang yang didapatkan dengan mudah seperti itu dihamburkan pada
hal-hal yang tak baik seperti judi, pacuan kuda, pertahuan, minum dan zina,
atau belanja barang mewah, pesta pernikahan, dan pesta pora lainnya.
3.
Bunga
juga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi. Ia mendorong orang melakukan
penimbunan (hoarding) uang, sehingga mempengaruhi peredarannya di antara
sebagian besar anggota mesyarakat. Ia juga menyebabkan timbulnya monopoli,
kartel serta konsentrasi kekayaan di tangan sedikit orang. Dengan demikian,
distribusi kekayaan di dalam masyarakat menjadi tidak merata dan celah antara
si kaya dan si miskin ini pun melebar. Masyarakat pun dengan tajam terbagi
menjadi dua kelompok kaya dan miskin yang pertentangan kepentingan mereka
memengaruhi kedamaian dan harmoni di dalam masyarakat. Lebih lagi, karena bunga
pula maka distorsi ekonomi sperti resensi, depresi, inflasi, dan pengangguran
terjadi.
4.
Investasi
modal terhalang dari perusahaan – perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba
yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun
proyek yang ditangani oleh perusahaan itu amat penting bagi Negara berbelok kea
rah perusahaan-perusahaan yang memiliki prospek laba yang sama atau lebih tinggi
daripada suku bunga yang sedang berjalan, sekalipun perusahaan tersebut tidak
atau sedikit saja memiliki nilai sosial.
5.
Bunga
yang dipungut pada utang internasional malah lebih buruk lagi karena memperoleh
DSR (debt-service ratio) Negara-negara debitur. Bunga itu tidak
hanya menghalangi pembangunan ekonomi Negara-negara miskin, melainkan juga
menimbulkan transfer sumber daya dari Negara miskin ke Negara kaya. Lebih dari
itu, ia juga memengaruhi hubungan antara Negara miskin dan kaya sehingga
membahayakan keamanan dan perdamaian internasional.[9]
BAB III
PENUTUP
Riba, di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang
dituntut dengan suatu cara tertentu, Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika membicarakan
riba, menyetakan bahwa “intinya, riba adalah kelebihan baik dalam komoditas
(itu sendiri) ataupun dalam uang, seperti dua dinar ditukarkan dengan tiga
dinar.” Jadi
kesimpulannya, riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain. Dan riba merupakan suatu hal yang dilarang oleh
Allah dan rasulnya yang telah dijelaskan dalam Al Quran. Riba menjadikan malas
bekerja dengan cara yang sehat dan ini berakibat merugikan orang lain.
Menurut para
ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba itu ada empat macam,
yaitu sebagai berikut.
1.
Riba Fadli,
2.
Riba Qardi
3.
Riba Yadh
4.
Riba Nasiah
Sedangkan bunga
adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan dengan prosentase
dari uang yang dipinjamkan. Alasan Bunga
Dilarang.
1.
Riba
atau bunga menanamkan rasa kikir, mementingkan diri sendiri, tak berperasaan,
tak peduli, kejam, rakus, dan penyembahan kepada harta.
2.
Bunga
mengembangbiakkan kemalasan dan menimbulkan pendapatan tanpa bekerja.
3.
Bunga
juga menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi.
4.
Investasi
modal terhalang dari perusahaan – perusahaan yang tidak mampu menghasilkan laba
yang sama atau lebih tinggi dari suku bunga yang sedang berjalan.
5.
Bunga
yang dipungut pada utang internasional malah lebih buruk lagi karena memperoleh
DSR (debt-service ratio) Negara-negara debitur.
DAFTAR PUSTAKA
Muhamad. 2002. Bank
Syari’ah. Yogyakarta:
Ekonisia.
Chaudhry , Muhammad Sharif. 2012. Sistem
Ekonomi Islam. Jakarta:
Kencana.
Ismail. 2011. Perbankan
Syariah.
Jakarta:
Kencana.
Sahrani,
Sohari dan Abdullah, Ru’fah. 2011. Fikih Muamalah.
Bogor: Penebit
Ghalia Indonesia.
[5] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 58.
[6] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih
Muamalah, hlm. 58, mengutip Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 64-65.
No comments:
Post a Comment